29 January 2017

La La Land (2016)

Here's to the fools who dream

Tidak banyak penonton, bahkan penikmat film, yang tertarik dengan genre musikal. Cara penyampaian sesuatu yang dilagukan dan dinyanyikan yang notabene bukanlah apa yang biasa dilakukan dalam kehidupan nyata, masih kurang bisa diterima. Meski kurang mendapat atensi, namun proses produksi film musikal tidak mudah. Perlu teknik tertentu dan tentu saja kemampuan lebih bagi aktor aktrisnya untuk bisa memahami irama agar penampilan bisa sempurna. Yang pasti, genre musikal punya penggemar tersendiri.

Mia (Emma Stone) adalah seorang waitress sebuah kedai kopi. Sementara Sebastian (Ryan Gosling) adalah seorang pianis idealis jazz yang harus berpindah dari satu kafe ke kafe lain untuk bertahan hidup. Keduanya memiliki tujuan sama, mewujudkan impian-impian mereka. Mereka pun dipertemukan. Mereka jatuh cinta. Dan mereka berdua berusaha mewujudkan apa yang mereka impikan.

Musik tak lepas dari diri Damien Chazelle. Whiplash yang bertumpu pada drum, sukses ia besut, yang menjadikan JK Simmons mendapatkan Oscar pertamanya. Chazelle sadar bahwa menyajikan tema musik ke dalam layar lebar tidaklah mudah. Melalui Whiplash ia sudah membuktikannya. Kini, yang dihadapi Chazelle tidak hanya tema musik, tetapi musik secara keseluruhan. Ini adalah debut Chazelle dalam film musikal pertamanya.

Dancing on the Hill

Chazelle did it. Pria kelahiran tahun 1985 ini berhasil melakukannya. Ia seakan mengatakan kepada pembenci film musikal bahwa karyanya ini bukanlah film musikal. Sekaligus ia mengatakan kepada penggemar film musikal bahwa karyanya ini sangatlah musikal. Jadilah La La Land menjadi pelebur antara pembenci dan penikmat. Chazelle berhasil mengaburkan batas antara musikal dan tidak. Dan Chazelle membuat semuanya berbondong-bondong menonton La La Land dengan bujuk rayunya yang luar biasa itu.

La La Land memang memikat. Ia disajikan secara retro-modern tanpa membuatnya tampak lusuh dan ketinggalan zaman. Pertunjukan seni lawas yang modern namun berkelas ini dengan baik disajikan dalam warna warni yang memikat dan mencolok. Visualisasinya pas, kaya warna namun tidak membosankan. Rangkaian kecerahan dan temaram sorot pencahayaan silih berganti memanjakan visualisasi.

Sebagai film musikal, musik tentu saja menjadi roh dari La La Land. Jangan kuatir bila yang nonton sama sekali belum pernah mendengar semua lagu yang ada di sini. Karena Justin Hurwitz menampilkan semua lagu, musik, dan aransemennya secara halus yang tentu saja mudah dicerna dan bakal memanjakan telinga. Dibuka dengan keriangan 'Another Day of Sun', rasa cinta 'A Lovely Night' di atas bukit, serta nada sendu namun penuh arti 'Mia & Sebastian's Theme'. Masih ada Someone in the Crowd, City of Stars, serta The Fools of Dream yang menjadi pengantar sukses Mia mengarungi karirnya.

The Ending Smile

Ahirnya, chemistry Emma Stone dan Ryan Gosling lah yang membuat semuanya mungkin. Tetap suka dengan akting Emma yang selalu tak mengecewakan, terlebih di sini. Meski tak sekuat Emma, namun Gosling tetap menampilkan kharismanya sendiri. Keduanya hebat karena mereka menampilkan the best of them, mereka bisa bernyanyi dan melepaskan vokal mereka dengan lepas meski ini adalah film musikal pertama buat mereka.

La La Land, sebuah drama musikal yang meruntuhkan batasan segmentasi khusus. Batasan itu telah lebur dengan narasi yang brilian, setting yang menakjubkan, penampilan para pelakon yang luar biasa, serta musik yang tetap membuatnya berputar pada porosnya. Endingnya yang menghentak adalah jawaban mengapa La La Land harus dan wajib dinikmati setiap detiknya, setiap scenenya, dan setiap pesonanya. 

No comments:

Post a Comment